Tergerus Zaman Tukang Es Potong


 "TUKANG ES POTONG"

Kisah Pedagang Es Potong yang Sepi Pembeli



    Saat sekolah dasar, kita sering menemui banyak penjual jajanan di luar pagar sekolah. Dari dulu hingga kini, penjaja makanan kecil itu bisa ditemui di depan SD, SMP, ataupun SMA. Hanya jajanan populer masa kini yang terdapat disana.

    Anak-anak tentunya menyukai kehadiran mereka. Mungkin sebagian bahkan memandang sebelah mata pada mereka. Berburuk sangka pada dagangannya tidak sehat.

    Ingar-bingar kota Jakarta, kebulan asap tebal kendaraan, dan teriknya matahari sudah menjadi kawan dekat bagi Marmo selama sepuluh tahun. Marmo, seorang penjual es potong keliling kawasan Kota Tua, tak gentar menjajakan jualannya walau tering matahari juga dinginnya malam. Pria yang berusia lima puluhan tahun itu secara telaten meneladani setiap pembelinya, walau sendu matanya tersorot.

    Bagi Marmo ditengah kerasnya hidup, ia tetap tegar berusaha untuk berjualan es potong, meski sepi pembeli. Usianya yang tak lagi muda ini , bukan menjadi halangan baginya untuk mencari nafkah secara halal.

    “Ya alhamdulillah cukup lah. Orang anak nya udh kerja,” ungkap Marmo saat ditanyai kebutuhan rumah tercukupi, Senin(1/3/2019)


    Marmo menjalani hidupnya di Kota Metropolitan seorang diri saja, sanak saudara dan keluarganya menetap di Pemalang, Jawa Tengah. Di Jakarta dia mengadu nasib dengan berjualan es potong yang ia ambil di Pabrik letaknya di Jalan Teh dekat Kota Tua.

   Marmo mengatakan sekarang sudah banyak saingan es potong, sudah ada es kepal milo, es walls dan lain-lain. Banyak penjual es lainnya membuat Marmo mengalami penurunan penghasilan dan sepi pelanggan. Akan tetapi untuk kebutuhan tercukupi.

    “Yah saingan gitu saingan banyak lah es krim es gitu banyak, Iya pengaruhi itu turun,” ujar Parmo saat ditanyai tersaingin dengan es-es zaman kini yang lebih banyak variannya.

    Dulu, es potong ini sangat banyak ditemui dimana-mana, dan sebagian besar pedagang banyak yang memilih untuk mangkal di sekolah-sekolah yang peminatnya pun juga anak-anak.

    Varian dari es potong ini pun juga terdiri dari lima rasa, durian, alpukat, kacang ijo, ketan hitam, dan coklat. Bisa dibeli dengan cara dipilih di potong berapa bagian

    Es potong ini bukan di produksi sendiri oleh  Marmo, tetapi mengambil dari pabrik nya seharga lima ribu lima ratus rupiah untuk satu es nya. Marmo menjual kembali satu batang es itu Rp10.000,00, tapi apabila dipotong-potong es batangan tersebut dijual dengan harga dua ribu rupiah atau tiga ribu rupiah.




    Keadaan tersebut tetap membuat Marmo bertahan hingga detik ini untuk kehidupannya. Kendati penghasilan tak begitu besar, Parmo masih harus menyetor uang ke bos es potong. Ditambah lagi dengan biaya hidup di Kota Jakarta yang turut membuat kantongnya tak kunjung tebal. Dengan meraup keuntungan yang sedikit, untuk makan sehari-hari Parmo sudah beruntung.

    Jarak yang ditempuh untuk menjajakan es potong lewat kayuhan gerobak es potongnya pun tak terhitung. Berangkat dari rumah melewati Toko Merah, Jembatan Tiga, Jembatan Dua dan tempat pemberentian tekahir yaitu Kota Tua dan di Kota Tua pun Parmo juga sembari mengelilingi daerah Kota Tua.

    Tempat  Marmo berjualan saat ini tak menentu, yang mana berkeliling setiap hari nya. Cara Parmo berjualan dengan cara membunyikan terompet yang ditekan yang berada di gerobak dorong es nya.

    Es potong merupakan jajanan tempo dulu yang populer di kalangan anak sekolahan. Es yang bentuknya bulat dan panjang ini juga tak jarang disebut-sebut dengan nama es lilin.
Namun saat sekarang, para penjual es potong sudah lumayan sulit untuk ditemukan karena semakin modern nya zaman yang membuat pesaing es semakin banyak. Contohnya saja es yang baru-baru ini viral yaitu es kepal milo.

    Pada saat es potong masih populer, omzet yang bisa Marmo dapatkan yaitu sebesar Rp70.000,00 - Rp80.000,00. Semenjak banyak nya pesaing-pesaing es yang semakin bervariasi dan menarik, es potong sudah semakin tidak diminati.

    Omzet yang diterima Marmo pada saat sekarang ini mulai menurun menjadi Rp30.000,00 - Rp40.000,00 , yang untuk makan pun kurang. Kadang, untuk mendapat 20.000 rupiah pun susah. Untuk kebutuhan sehari-hari pun penghasilan Parmo hanya sekedar cukup.

Marmo menghidupi dirinya dengan uang yang dihasilkan dari menjual es potong ini. Ia hidup merantau jauh dari keluarganya. Marmo memiliki keluarga di Kota Pemalang, Jawa Tengah.

    Saat ditanyai apakah tetap ingin berjualan es potong atau beralih profesi yang lain, Marmo menjawab pendapatan nya sudah cukup untuk hidupnya sehari-hari jika berjualan di hari biasa dan juga bisa menyisihkan sebagian pendapatan nya untuk disimpan di tabungan.

    Saat bulan puasa memang sepi, tapi beda untuk hari-hari biasanya. Apalagi hari libur nasional yang banyak pengunjungnya. Namun,sepanjang hari, banyak orang yang beralalu-lalang di depan gerobaknya.

    Marmo di Jakarta ini bertempat tinggal yang disediakan oleh bos nya di Jalan Teh dekat di daerah Kota Tua juga. Tempat tinggal itu cukup untuk Parmo tidur dan mandi hanya saja kalau ingin buang air besar aja bayar.


Comments

Popular Posts